Menepi dari Negeri Cahaya




Sudah dalam kesekian hitungan
bukan dua, tapi telah yang ketiga
dan entah akan berapa lagi,
cerita yang sama tentang elegi.

Perlahan mencabarkan benak, dingin dan memaksa, tanpa tawar lagi menawar.
Menghantarkan diri pada jalan akhir; kembali.

Dapat dibaca, kegelisahan pada mata-mata yang nanar namun sinarnya redup

lalu timbul bertanya, kemana sinar yang kemarin (?)

bila hanya setia pada mentari
maka butalah mata pada pesona malam;
bulan hanya seumpama bola pucat, memar tanpa pijar, menyangkut di langit gelap.

Teringat lagi, pada kata-kata yang menyita,
yang lebih sering ditertawakan oleh gelak yang miris; tersadar

"sudah saatnya, kita harus menepi dari negeri cahaya".


Kemanapun tak apa, karena disini penuh sesak ragu dan semu.

Komentar

Postingan Populer