RAHA

Sesekali saya teringat akan satu puisi yang mengawali saya pada kecintaan terhadap puisi kontemporer, di masa putih abu-abu dulu, puisi ini adalah salah satu karya dari Kang Cecep.

Lugas, tanpa pernah saya merasa kesulitan memahaminya, ya mungkin dulu saya yang sampai hapal bait perbaitnya karena begitu seringnya singgah di mata saya hanya akan memahaminya sebagai puisi keterusterangan seorang pria, tanpa ada "gombalan" sedikitpun.

lalu, pernahkan terpikirkan sebelumnya oleh kita, saat pertama kalinya kata-kata itu menyapa yang lalu bertahun-tahun kemudian, ada satu masa dimana kita menjadi pemain dalam babakan puisi tersebut
barangkali karena cinta adalah pilihan, barang kali cinta adalah perjuangan akan rasa, meski terkadang di akhir ia menawarkam luka. tapi begitulah sebuah pilihan memiliki dua sisi yang berbeda. Suka dan Duka.


Kau pun berlabuh di bahuku
dalam deras angin teluk senja itu.

Aku ingin menjadi sepasang mata bagimu

melihat kota-kota yang kau lingkari dalam peta
dan negeri-negeri yang kau jangkau lewat mimpi

langit bagai bentangan kanvas raksasa
bintang-bintang bagai pasir permata


kau akan menyesal
sebab di malam hari
kau akan sering terjaga
dan mengalirkan air mata


bukankah semua itu karena sepi? siapapun suatu waktu akan begitu. terbawa arus yang bernama rindu

dalam derasnya angin teluk senja itu
kita tinggalkan dermaga
kembali ke tengggara.

 #cecep syamsul Hari 2003

Komentar

Postingan Populer